Tuesday, September 22, 2015

[Belajar Bersyukur]

Entah harus malu, segan, atau kagum.

Tebet-Senopati-Depok-Tebet.
07.00 - 23.00.

Belum genap seminggu punya rutinitas baru seperti itu. 
Sudah terlintas rasa lelah, telah teruntai langkah yang melemah. 
Katanya, rasa letih telah menyerang badan.

Katanya, ada beban ekspektasi di kantor. 
Katanya, masih ada juga tanggung jawab organisasi. 
Katanya, belum lagi skripsi yang masih menanti penyelesaiannya.

Entah harus malu, segan, atau kagum.

Lantas terhenyak dengan sosok pemimpin keluarga yang melintas di pikiran.
Entah belasan hingga puluhan tahun menjalani rutinitas yang serupa.
Berangkat pagi, pulang pagi, belum lagi jika ternyata harus tidak pulang.
Beban ekspektasi di kantor bahkan sama sekali tidak seberapa.
Apabila dibandingkan dengan beban menafkahi anggota keluarga yang menjadi tanggungannya.
Bukan hidup sekedar hidup, tapi anggota keluarga dapat hidup berkecukupan yang jadi harapannya.

Entah harus malu, segan, atau kagum.

Jika membayangkan beratnya beban yang harus ditanggung olehnya.
Jika memikirkan "balasan" apa yang selama ini mampu saya berikan.
Entahlah, tak terpikirkan "kekuatan"apa yang selama ini mampu menjaga semangatnya.
Belum lagi jika melihat para "working mother" dengan segala kewajibannya.
Belum pula jika melihat para "single parent " dengan segala keterbatasannya.

Entah harus malu, segan, atau kagum.

Mungkin, ini saatnya belajar "menunjukkan" rasa terima kasih.
Mungkin, ini saatnya belajar bersyukur.

As when things could've been better, it could've been worse

No comments:

Post a Comment